Minggu, 25 Januari 2015

Kata Sebuah Napas

Kata Sebuah Napas

Aku benci berada di sini. Air terjun indah ini tidak bisa kunikmati dengan maksimal karena keadaan udaranya membuatku lemah. Udara pagi ataupun malam membekukan tubuhku. Meski air terjun itu indah, aku tidak berani turun dan mendekat ke area itu. Di sana adalah titik dimana dingin itu paling dominan. Di pemukiman saja sudah dingin, apalagi di bawah air terjun itu. Mungkin seharusnya aku tidak kemari. Aku melewatkan acara wisuda kakakku yang pertama, aku meninggalkan rencana keluargaku untuk memberikan kejutan di hari ulangtahun adikku. Aku juga tidak bisa menonton serial Red Band Society seperti biasa kulakukan di malam Sabtu.
Kata penduduk di sini, suhu di sini mencapai 13 derajat. Supaya tubuhku hangat, aku terpaksa memakai dua baju serta jaket parasit berwarna merah muda favoritku yang cukup tebal. Kupakai juga kerpus rajut yang menutupi bagian kepala dan telinga, serta syal yang menghangatkan leherku. Meskipun cukup hangat dan berpengaruh terhadap reaksi tubuhku, tetap saja gigiku terkatup-katup menggigil kedinginan. Tulangku sedikit nyeri karena ini. Kuakui, aku lebih mirip orang-orangan salju yang menggelembung daripada seorang wanita. Biasanya, aku tidur menghadap kipas angin ketika aku di Surabaya. Tetapi, untuk sekarang, aku bahkan menghindari pantulan nafasku sendiri. Setiap hembusan memicu udara lebih dingin di kulitku.
Aku terpaksa di sini. Aku bisa pergi meninggalkan tempat ini, tetapi aku memiliki tanggungjawab dalam kegiatanku. Temanku, Terra dan tiga orang lainnya hilang di Cuban Talun, tempat klub anggota menulis kami melakukan camping. Memang tim pencari orang hilang dan polisi sudah melakukan pencarian sejak kemarin. Hanya saja, dia adalah sahabatku dan aku tidak bisa tinggal diam di rumah dan menunggu kabar buruk yang biasanya tidak sepenuhnya benar dari polisi. Aku harus berada di sini.
Ketika orang-orang mencoba mencari rombongan yang bersama Terra, aku duduk manis seorang diri di dalam tenda karena aku tidak diperbolehkan ikut mencari ke daerah Cuban Talun ini. Kuhangatkan air untuk membuat teh aroma blueberry ini.
Aku terkejut sewaktu menemukan seorang lelaki yang berada di kantung tidurnya menumpahkan gelas tepat dibelakangku. Lelaki itu menggapai sesuatu di samping kirinya yang sulit ia jangkau. Kubantu lelaki itu untuk mengambil sesuatu yang dibutuhkan. Ternyata lelaki ini menarik selimut bercorak bunga-bunga mawar merah yang tergeletak di samping kirinya.
“Trims,” katanya sambil tersenyum dingin. Aku mengangguk pelan. Tangannya tidak sengaja menyentuh jemariku, tetapi aku merasakan keanehan saat ia mengulurkan tangannya. Aku tidak bisa melihat dengan jelas, karena gerak-geriknya terlalu cepat. Tubuhnya rapat ditutupi kantung tidur dan kepalanya mengenakan kupluk sepertiku. Wajahnya pucat, bibirnya tampak biru keunguan. Tidak terasa, tetesan air mendidih mengalihkan perhatianku. Hampir saja kompornya padam.
“Kamu mau teh?” tawarku pada lelaki itu. Dia menggumam tanda jika ia juga ingin secangkir teh hangat. Kuletakkan dua gelas plastik teh hangat di sampingnya.
“Kita beruntung tidak di kelompok satu. Kira-kira mereka dimana sekarang? Kasihan, pasti mereka lapar,” kataku mengajaknya mengobrol. Lelaki itu masih menggumam, menggigil malah.
“Kamu masih kedinginan?” tanyaku. Ia mengangguk. Kasihan. Kucari lagi selimut yang bisa menghangatkannya, dia meringkuk di dalam selimut yang kuberikan. Apakah sedingin itu untuknya?
“Jangan heran begitu, Elsy. Aku memang pantas untuk ditertawakan karena sekarang aku mirip kepompong daripada orang, ya kan?” katanya dengan gigi terkatup. Aku nyengir ketika melihat lesung pipinya yang bisa kukenali. Kukira aku sendirian di tenda ini.
Alex kehilangan enam jari tangannya akibat penyakit yang dideritanya. Hanya dua jari manis dan jari kelingking yang ia miliki saat ini. Dan jari-jari itu ia pergunakan untuk menulis. Kudengar dari obrolan teman-temanku, Alex mengidap penyakit Buerger yang disebabkan peradangan pembuluh darah arteri dan vena serta saraf pada tungkai yang menyebabkan gangguan aliran darah. Alex tidak seharusnya berada di suhu yang dingin karena suhu yang dingin akan semakin mematikan jaringan tubuhnya atau istilah medisnya dinamakan gangren. Sebenarnya penyakit ini ditimbulkan karena merokok di usia muda. Satu-satunya obat yang bisa mengurangi penyakit ini yaitu berhenti merokok. Dan seharusnya Alex tidak memegang sesuatu yang panas atau dingin. Alex adalah salah satu pemuda yang gemar merokok sejak duduk di bangku SMA. Dia lelaki yang pandai dalam menulis. Sebelum ia kehilangan jari-jarinya, aku sering melihat perokok ini menyendiri sambil menulis dan tentunya merokok. Kasihan sebenarnya. Tetapi dirinya sendiri yang menimbulkan penyakit itu semakin ganas.
“Kenapa kamu ikut ke sini?” tanyaku.
“Memangnya tidak boleh? Aku senang di sini.”
“Senang? Yakin? Bagaimana kalau aku ambil selimut-selimut ini?” tantangku. Alex melirikku, disingkirkan selimutnya yang tadinya ia tutup rapat-rapat. Mencoba membuktikan kalau Alex bisa bertahan tanpa selimutnya, tanpa kaus kakinya, dan tanpa topi rajutnya. Dengan santainya, Alex duduk di sampingku. Yang kulakukan hanyalah memperhatikan gerak-geriknya yang lebih mirip orang kesal ketimbang orang yang berpikiran tenang.
“Aku senang di sini,” ulangnya dengan nada tinggi. Tangannya yang tidak sempurna itu menangkup gelas hangat itu. Lalu ia menumpahkannya lagi. “Ya ampun, panas!” serunya sedikit mengumpat. Ia mengibas-ngibaskan tangannya karena kesakitan, lama kelamaan gumaman suaranya tampak seperti menahan sakit.
“Alex! Nggak usah pura-pura sehat deh! Cepat pakai lagi kaus kakinya,” ujarku khawatir. Alex menolak tindakanku, ia memintaku untuk memberikan tehku kepadanya. Kumiringkan gelasnya sementara Alex menyeruputnya secara hati-hati.
Aku langsung memeluknya. “Kita sedang kehilangan teman-teman kita hampir separuhnya. Aku mohon kamu jaga kesehatan supaya kita bisa belajar bersama-sama lagi,” kataku. Alex terdiam. Kami sama-sama diam.

“Maaf.” Hanya itu ucapan yang dikatakan Alex. Selang beberapa menit Alex sudah memejamkan matanya di saat aku masih memeluknya. Entah itu ia memang tertidur karena kantuk atau karena rohnya sudah tidak ada di tubuhnya. Jantungku berdesir khawatir ketika aku memeriksa nafasnya yang masih berhembus. Untunglah. Setidaknya Alex memang memejamkan mata karena mengantuk.***