Kata
Sebuah Napas
Aku
benci berada di sini. Air terjun indah ini tidak bisa kunikmati dengan maksimal
karena keadaan udaranya membuatku lemah. Udara pagi ataupun malam membekukan
tubuhku. Meski air terjun itu indah, aku tidak berani turun dan mendekat ke
area itu. Di sana adalah titik dimana dingin itu paling dominan. Di
pemukiman saja sudah dingin, apalagi di bawah air terjun itu. Mungkin
seharusnya aku tidak kemari. Aku melewatkan acara wisuda kakakku yang pertama,
aku meninggalkan rencana keluargaku untuk memberikan kejutan di hari ulangtahun
adikku. Aku juga tidak bisa menonton serial Red Band Society seperti biasa
kulakukan di malam Sabtu.
Kata
penduduk di sini, suhu di sini mencapai 13 derajat. Supaya tubuhku hangat, aku
terpaksa memakai dua baju serta jaket parasit berwarna merah muda favoritku
yang cukup tebal. Kupakai juga kerpus rajut yang menutupi bagian kepala dan
telinga, serta syal yang menghangatkan leherku. Meskipun cukup hangat dan
berpengaruh terhadap reaksi tubuhku, tetap saja gigiku terkatup-katup menggigil
kedinginan. Tulangku sedikit nyeri karena ini. Kuakui, aku lebih mirip
orang-orangan salju yang menggelembung daripada seorang wanita. Biasanya, aku
tidur menghadap kipas angin ketika aku di Surabaya. Tetapi, untuk sekarang, aku
bahkan menghindari pantulan nafasku sendiri. Setiap hembusan memicu udara lebih
dingin di kulitku.
Aku
terpaksa di sini. Aku bisa pergi meninggalkan tempat ini, tetapi aku memiliki
tanggungjawab dalam kegiatanku. Temanku, Terra dan tiga orang lainnya hilang di
Cuban Talun, tempat klub anggota menulis kami melakukan camping. Memang tim pencari orang hilang dan polisi sudah melakukan
pencarian sejak kemarin. Hanya saja, dia adalah sahabatku dan aku tidak bisa
tinggal diam di rumah dan menunggu kabar buruk yang biasanya tidak sepenuhnya
benar dari polisi. Aku harus berada di sini.
Ketika
orang-orang mencoba mencari rombongan yang bersama Terra, aku duduk manis seorang
diri di dalam tenda karena aku tidak diperbolehkan ikut mencari ke daerah Cuban
Talun ini. Kuhangatkan air untuk membuat teh aroma blueberry ini.
Aku
terkejut sewaktu menemukan seorang lelaki yang berada di kantung tidurnya menumpahkan
gelas tepat dibelakangku. Lelaki itu menggapai sesuatu di samping kirinya yang
sulit ia jangkau. Kubantu lelaki itu untuk mengambil sesuatu yang dibutuhkan.
Ternyata lelaki ini menarik selimut bercorak bunga-bunga mawar merah
yang tergeletak di samping kirinya.
“Trims,”
katanya sambil tersenyum dingin. Aku mengangguk pelan. Tangannya tidak sengaja
menyentuh jemariku, tetapi aku merasakan keanehan saat ia mengulurkan
tangannya. Aku tidak bisa melihat dengan jelas, karena gerak-geriknya terlalu
cepat. Tubuhnya rapat ditutupi kantung tidur dan kepalanya mengenakan kupluk
sepertiku. Wajahnya pucat, bibirnya tampak biru keunguan. Tidak terasa, tetesan
air mendidih mengalihkan perhatianku. Hampir saja kompornya padam.
“Kamu
mau teh?” tawarku pada lelaki itu. Dia menggumam tanda jika ia juga ingin
secangkir teh hangat. Kuletakkan dua gelas plastik teh hangat di sampingnya.
“Kita
beruntung tidak di kelompok satu. Kira-kira mereka dimana sekarang? Kasihan,
pasti mereka lapar,” kataku mengajaknya mengobrol. Lelaki itu masih menggumam,
menggigil malah.
“Kamu
masih kedinginan?” tanyaku. Ia mengangguk. Kasihan. Kucari lagi selimut yang
bisa menghangatkannya, dia meringkuk di dalam selimut yang kuberikan. Apakah
sedingin itu untuknya?
“Jangan
heran begitu, Elsy. Aku memang pantas untuk ditertawakan karena sekarang aku
mirip kepompong daripada orang, ya kan?” katanya dengan gigi terkatup. Aku
nyengir ketika melihat lesung pipinya yang bisa kukenali. Kukira aku sendirian
di tenda ini.
Alex
kehilangan enam jari tangannya akibat penyakit yang dideritanya. Hanya dua jari
manis dan jari kelingking yang ia miliki saat ini. Dan jari-jari itu ia
pergunakan untuk menulis. Kudengar dari obrolan teman-temanku, Alex mengidap
penyakit Buerger yang disebabkan peradangan pembuluh darah arteri dan vena
serta saraf pada tungkai yang menyebabkan gangguan aliran darah. Alex tidak
seharusnya berada di suhu yang dingin karena suhu yang dingin akan semakin
mematikan jaringan tubuhnya atau istilah medisnya dinamakan gangren. Sebenarnya
penyakit ini ditimbulkan karena merokok di usia muda. Satu-satunya obat yang
bisa mengurangi penyakit ini yaitu berhenti merokok. Dan seharusnya Alex tidak
memegang sesuatu yang panas atau dingin. Alex adalah salah satu pemuda yang gemar
merokok sejak duduk di bangku SMA. Dia lelaki yang pandai dalam menulis.
Sebelum ia kehilangan jari-jarinya, aku sering melihat perokok ini menyendiri
sambil menulis dan tentunya merokok. Kasihan sebenarnya. Tetapi dirinya sendiri
yang menimbulkan penyakit itu semakin ganas.
“Kenapa
kamu ikut ke sini?” tanyaku.
“Memangnya
tidak boleh? Aku senang di sini.”
“Senang?
Yakin? Bagaimana kalau aku ambil selimut-selimut ini?” tantangku. Alex
melirikku, disingkirkan selimutnya yang tadinya ia tutup rapat-rapat. Mencoba
membuktikan kalau Alex bisa bertahan tanpa selimutnya, tanpa kaus kakinya, dan
tanpa topi rajutnya. Dengan santainya, Alex duduk di sampingku. Yang kulakukan
hanyalah memperhatikan gerak-geriknya yang lebih mirip orang kesal ketimbang
orang yang berpikiran tenang.
“Aku
senang di sini,” ulangnya dengan nada tinggi. Tangannya yang tidak sempurna itu
menangkup gelas hangat itu. Lalu ia menumpahkannya lagi. “Ya ampun, panas!”
serunya sedikit mengumpat. Ia mengibas-ngibaskan tangannya karena kesakitan,
lama kelamaan gumaman suaranya tampak seperti menahan sakit.
“Alex!
Nggak usah pura-pura sehat deh! Cepat pakai lagi kaus kakinya,” ujarku
khawatir. Alex menolak tindakanku, ia memintaku untuk memberikan tehku
kepadanya. Kumiringkan gelasnya sementara Alex menyeruputnya secara hati-hati.
Aku
langsung memeluknya. “Kita sedang kehilangan teman-teman kita hampir
separuhnya. Aku mohon kamu jaga kesehatan supaya kita bisa belajar bersama-sama
lagi,” kataku. Alex terdiam. Kami sama-sama diam.
“Maaf.”
Hanya itu ucapan yang dikatakan Alex. Selang beberapa menit Alex sudah memejamkan
matanya di saat aku masih memeluknya. Entah itu ia memang tertidur karena
kantuk atau karena rohnya sudah tidak ada di tubuhnya. Jantungku berdesir
khawatir ketika aku memeriksa nafasnya yang masih berhembus. Untunglah.
Setidaknya Alex memang memejamkan mata karena mengantuk.***