Sebuah film karya anak bangsa, Samin vs. Semen merupakan sebuah film dokumenter yang diproduksi pada tanggal 3 Maret 2015 oleh Watchdog, disutradarai oeh Dandy Laksono. Film dokumenter ini menghadirkan paparan fakta melalui sisi dari Sedulur Sikep, pengikut ajaran Samin yang berasal dari Kecamatan Sukolilo, Pati.
Awal dari scene film ini digambarkan hamparan sawah yang hijau dan luas, menandakan tanahnya subur. Tanah yang dimaksudkan adalah tanah milik masyarakat Samin yang subur. Namun, kini mulai dimasuki oleh industri Semen Gresik membuat kegelisahan sekaligus aksi protes dari masyarakat Samin. Masyarakat Samin mempermasalahkan dampaknya apabila industri tersebut benar-benar menguasai daerah mereka. Film ini mengambil tiga setting tempat yang sama-sama menolak sSemen Gresik masuk ke daerah mereka. Rata-rata mata pencaharian warga Samin berprofesi sebagai petani. Oleh sebab itu, mereka sangat bergantung pada tanah-tanah yang ada di Pati dan Rembang.
Perjuangan mereka pun penuh keberanian, dalam film ini mendokumentasikan bagaimana petani-petani perempuan melawan aparat keamanan negara. Bagi mereka, tanah tidak bisa habis selama tidak ada yang dijual. Maka sebaliknya, tanah dijual dan menjadi uang yang akan cepat habis. Mereka meyakini bahwa tanah pertanian mereka dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu, solidaritas masyarakat Samin cukup membangun sebuah kesalutan dari penonton. Gunarti, sosok wanita cerdas yang menuturkan bagaimana caranya beternak dan bertani dengan segala kekurangan dan keuntungan yang mereka dapatkan. Hal ini menjadi gambaran penting dalam film ini. Tidak hanya Gunarti saja yang berjuang, melainkan Gunretno, pria yang terus mencari keadilan bagi lahannya pun juga turut bergerak. Gunretno menjadi bagian dari petani Rembang yang menolak Semen Gresik masuk ke Rembang. Bahkan ia menggerakkan warga terutama ibu-ibu sebagai pendukung aksinya ini. Hal ini menandakan bahwa orang-orang Samin sangat menjunjung tinggi cara mempertahankan lahan warisan nenek moyang mereka untuk anak cucu di masa yang akan datang.
Berdasarkan hasil diskusi yang diadakan oleh LPM SITUS FIB UNAIR (10/11) menyimpulkan bahwa film dokumenter ini tidak hanya sudut pandang Ekspedisi Indonesia Biru saja melainkan juga mengangkat isu mengenai kemanusiaan, kapitalisme yang tidak mudah diterima dalam masyarakat Samin. Tidak dipungkiri jika perusahaan besar seperti Indo Semen turut menjadi bagian pembangunan negara. Akan tetapi tidak seharusnya permasalahan ini menganggu ekosistem alam di daerah Rembang dan sekitarnya.
"Jika tanah kami dijual, maka akan menghasilkan uang. Uang akan cepat habis. Tetapi jika kami punya sawah tidak akan pernah habis untuk anak cucu kita," kurang lebih begitu tutur orang-orang Samin menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pembangunan pabrik semen tersebut.
Namun sangat disayangkan film berdurasi 39 menit ini benar-benar memusatkan sudut pandangnya melalui masyarakat Samin saja. Apabila pihak Semen Gresik disorot pula, maka penonton akan memilih kesimpulannya sendiri sesuai dengan fakta yang telah ditayangkan dalam film dokumenter ini.